Review buku “
Pendidikan Yang Membebaskan”
Judul Buku :
Pendidikan Yang Membebaskan
Pengarang :
Akhmad Muhaimin Azzet
Penerbit : Ar Ruzz Media, Jogjakarta
Tahun
terbit : 2011
Jumlah
Halaman : 100
Apa yang menjadi tujuan dari orang tua ketika memasukkan anaknya ke sebuah
lembaga pendidikan? Jawabnya tentu saja agar mendapatkan kehidupan yang lebih
baik ke depannya. Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, bisa diraih
manakala seseorang memiliki pendidikan yang baik pula. Oleh sebab itulah bisa
dikatakan bahwa kunci meraih kehidupan yang baik adalah pendidikan yang baik
pula.
Pendidikan yang menghasilkan kehidupan yang lebih baik bagi output-nya
tentu saja didapat dari pendidikan yang membebaskan, bukan pendidikan yang
mendehumanisasi (hlm. 5). Itu artinya bahwa pendidikan yang membebaskan adalah
model pendidikan terbaik untuk menciptakan generasi unggul serta sumber daya
manusia yang berkualitas. Paling tidak itulah gambaran yang diinginkan oleh
penulis buku “Pendidikan Yang Membebaskan”.
Buku ini berjumlah 100 halaman yang terdiri atas 14 bab utama. Namun
secara umum penulis ingin menjabarkan konsep pendidikan yang membebaskan
menurut Paulo Freire, pendidikan menurut UU Sisdiknas, pendidikan yang
membebaskan di sekolah miskin, pendidikan yang memanusiakan , pendidikan
sebagai transformasi sosial, serta pendidikan yang demokratis.
Pada bab pertama, penulis menjelaskan tentang pendidikan yang
membebaskan menurut Freire. Bagi Freire pendidikan yang membebaskan dalam arti
anti-kolonialis yaitu pendidikan harus menjadi cara untuk membebaskan peserta
didik dari segala macam bentuk penjajahan, apalagi penjajahan dalam arti
sebenarnya. Gamblangnya apa yang dilakukan oleh Freire adalah pendidikan
penyadaran dalam diri peserta didik menuju pemanusiaan yang sebenarnya.
Pendidikan yang semacam ini adalah hak bagi setiap anak manusia tanpa kecuali
(hlm. 12-13).
Pada bab kedua, penulis akan menjelaskan pendidikan menurut UU
Sisdiknas. Berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)
Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dari
pengertian tersebut sangat jelas bahwa tujuan diselenggarakannya pendidikan
adalah agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi yang ada dalam
dirinya. Mengembangkan potensi yang ada dalam diri peserta didik ini adalah
kunci penting diselenggarakannya sebuah proses pendidikan yang membebaskan
(hlm. 15).
Bab ketiga dijelaskan bahwa pendidikan bukanlah mengisi gelas
kosong. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang diberikan kepada
anak didik sesuai dengan perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh anak didik
agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang merdeka (hlm. 22). Maksdnya
bahwa manusia merdeka adalah mereka yang nantinya bisa merasakan kebahagiaan
dalam hidup.
Bab keempat, berisikan sebuah kisah nyata tentang pendidikan yang
membebaskan di sekolah miskin. Pendidikan yang semacam itu penulis gambarkan
dengan ibu Muslimah beserta murid-muridnya sebagaimana yang diceritakan dalam
sebuah novel Laskar Pelangi karya Abdrea Hirata. Bagi penulis buku ini sendiri
bahwa untuk menciptakan sebuah pendidikan yang membebaskan hal yang penting
adalah semangat seseorang yang kemudian ditularkan kepada anak didiknya untuk
berproses bersama-sama dalam pendidikan yang membebaskan (hlm.31).
Bab kelima, mengupas tentang ciri-ciri pendidikan yang membebaskan,
yaitu pendidikan yang murid berperan aktif. Pendidikan yang membebaskan adalah
sebuah model pendidikan yang murid berperan aktif dalam proses belajar yang
sedang berlangsung. Dalam arti pendidikan yang membebaskan peran guru yang
paling penting adalah mendampingi anak didik. Disinilah dibutuhkan guru yang
mampu membuat muridnya bisa berperan aktif terlibat dalam memahami ilmu
pengetahuan (hlm 33&37).
Bab keenam, menjelaskan tentang pendidikan yang memanusiakan.
Konsep pendidikan tersebut adalah pendidikan yang dihadapkan pada realitas
sosial, maksudnya pendidikan yang membangun kesadaran kritis anak didik dalam
menghadapi realitas sosial. Kesadaran kritis ini penting agar anak didik bisa
menilai secara jernih sekaligus bisa bersikap untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya (hlm. 42).
Bab ketujuh, menguraikan tentang pendidikan sebagai proses
transformasi sosial. Pandangan positif yang menyatakan pendidikan sebagai
proses transformasi sosial berangkat dari sebuah asumsi dasar bahwa kenyataan
yang dialami oleh manusia merupakan sebuah proses. Setiap manusia
senantiasa menjalani sebuah proses untuk “menjadi” (hlm.45). Dalam hal inilah
dapat diketahui bahwa sesungguhnya proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari
persoalan sosial, karena masalah sosial pada hakekatnya merupakan bagian dari
pendidikan itu sendiri.
Bab kedelapan, menjelaskan bahwa pendidikan yang membebaskan adalah
pendidikan yang demokratis. Yaitu sebuah proses pendidikan yang mengatur
hubungan guru dan murid dapat berimbang sehingga bisa saling menyampaikan
pendapat dan pikiran. Guru tidak hanya menyampaikan materi, sedangkan murid
hanya mendengarkan dan menerima apa adanya. Dalam pendidikan yang demokratis,
murid juga sangat penting untuk didengar pendapatnya, diberi kesempatan untuk
menunjukkan kemampuannya, atau dihargai apa yang menjadi keinginannya dalam
proses belajar-mengajar (hlm. 47).
Bab kesembilan, menjelaskan tentang fungsi sebenarnya pendidikan.
Disini dijelaskan bahwa pendidikan berfungsi sebagai wahana membangun kesadaran
anak didik agar tetap menyadari kemanusiaannya. Pendidikan jangan sampai
menjadi mesin industry sehingga menjadikan anak didiknya robot-robot
kapitalisme. Jangan sampai pendidikan hanya menjadi mesin industri hingga
melupakan untuk membangun kesadaran akan hakikat kemanusiaan (hlm. 57).
Bab kesepuluh membahas tentang pendidikan yang dialogis sebagai
ciri utama pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang dialogis dapat
dilakukan jika seorang guru berpandangan bahwa tugasnya adalah mendampingi anak
didik dalam proses belajar mengajar. Pada saat seorang guru berpandangan bahwa
tugasnya mendampingi, yang ada dalam hubungan ini adalah kesejajaran (hlm. 62).
Inilah yang merupakan salah satu ciri utama pendidikan yang membebaskan, yaitu
ada pola sesajar antara guru dan murid.
Bab kesebelas, berisi tentang pendidikan yang menghormati perbedaan
pendapat. Salah satu penyebab mengapa pendidikan yang membebaskan tidak mungkin
bisa terlaksana apabila masih ada pemaksaan untuk sama dalam memahami sesuatu.
Jika dalam pendidikan anak didik tidak dibiasakan dengan praktik saling
menghormati perbedaan pendapat, sulit mencapai pendidikan yang
membebaskan. Dalam pendidikan yang membebaskan, anak didik tidak boleh dipaksa
seragam dalam berpendapat. Bila terjadi perbedaan pendapat dari anak didik,
sungguh hal itu harus dihormati (hlm. 64).
Bab keduabelas, mengupas tentang pendidikan menuju kemerdekaan.
Dalam bab ini dijelaskan bahwa pendidikan yang membebaskan pada hakikatnya
adalah pendidikan yang memerdekakan setiap manusia dari segala sesuatu yang
menindas. Anak manusia harus dibebaskan dirinya dan jangan sampai terus menerus
atau semakin tertindas kehidupannya. Oleh sebab itulah pendidikan harus bisa
membebaskan peserta didiknya dari segala macam bentuk penindasan (hlm. 67).
Bab ketigabelas, menjelaskan tentang pendidikan yang kritis.
Pendidikan semestinya membangun kesadaran anak didik untuk berani bersikap dan
kritis terhadap status quo. Hal ini bukan berarti membangun kesadaran anak
didik agar selalu berpikir untuk memberontak terhadap status quo. Akan tetapi,
kesadaran untuk berani bersikap dan kritis terhadap status quo ini sangat
penting agar jangan sampai yang satu ditindas oleh manusia yang lainnya; jangan
sampai kelompok yang satu mengebiri kelompok yang lainnya (hlm. 77).
Bab keempatbelas, berisi tentang pendidikan yang membebaskan dengan
sebuah kisah nyata belajar dari sekolah Tomoe Gakuen. Dalam bab ini khusus
menceritakan tentang sebuah sekolah yang membebaskan murid-muridnya dalam
melakukan sesuatu. Toto Chan adalah salah satu murid di sekolah tersebut yang
memiliki keistimewaan karena sangat kritis serta memiliki keingintahuan yang
besar. Di sekolah tomoe Gakuen pula akhirnya Toto Chan bisa belajar dengan
bebas yang itu tidak bisa dilakukan ketika Toto Chan belajar di sekolah
sebelumnya.
Jadi, kemerdekaan anak-anak dalam belajar adalah hal yang sangat penting
diperhatikan dalam proses belajar-mengajar (hlm. 85). Satu hal yang harus
dicatat, bahwasanya kemerdekaan dan kebebasan dalam pendidikan adalah salah
satu kunci utama untuk menciptakan proses pembelajaran yang dapat melahirkan
generasi yang unggul. Selamat belajar!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar