Minggu, 11 Januari 2015

Review Film



Film “Temani Aku Bunda”, Potret Buram Sistem Pendidikan di Indonesia

“Bunda, saya tidak mau ada siswa bodoh dapat nilai bagus. Kalau pemimpinnya orang bodoh, nanti Indonesia bisa roboh” (Abrar)

Apakah Anda masih ingat kisah anak SD yang disuruh pihak sekolah memberikan contekan untuk teman-temannya sewaktu Ujian Nasional tahun 2011 lalu? Kini kisahnya telah diangkat dalam sebuah film dokumenter yang berjudul “Temani Aku Bunda”. Sebelum membahas film tersebut, mari kita simak sebuah puisi yang menggambarkan jeritan isi hati anak jujur tersebut.

Temani Aku Bunda
karya Elvira Yanti Mahyor
Bunda,
aku ingin menangis di pelukanmu,
aku ingin bercerita kepadamu.
Karena saat ini aku sendiri, bunda.
Semua kawan menatapku penuh benci,
mengejekku sebagai anak yang sok jujur.
Aku tidak melakukan apa-apa.
Aku hanya melakukan apa yang seharusnya.
Aku hanya melakukan apa yang selalu dinasehatkan oleh orang tua,
yaitu JUJUR.
Bunda,
aku tidak pernah menyangka jujur butuh keberanian baja,
butuh kekuatan hati yang luar biasa,
butuh kerja keras dan air mata
Aku hampir tidak kuat, bunda.
Bunda,
kini aku sedih melihat engkau,
orang yang melahirkan aku ke dunia,
orang yang membesarkan aku dengan penuh cinta,
orang yang selalu hadir di saat aku terluka,
harus menerima ejekan dari mereka,
hanya karena aku ingin JUJUR saja,
padahal JUJUR membuatku lega, bunda.
Maafkan aku, bunda
Salahkah sikapku?
Apakah aku tidak usah jujur saja?
Agar engkau tak lagi terluka.
Aku bingung, aku gelisah, aku cemas, aku takut.
Tolong temani aku, bunda.
Tolong lindungi aku, bunda.
Aku hanya ingin jujur, karena jujur membuatku lega.
–: end :–
Sinopsis film.
Pada hari pertama Ujian Nasional (UN) 2011 di SDN 06 Petang Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Muhammad Abrary Pulungan (biasa dipanggil Abrar) disuruh berbuat curang oleh gurunya. Ia tak kuasa menahan tangis dan kecewa karena (dua hari sebelum UN) telah menandatangi perjanjian di atas kertas yang dibuat oleh gurunya yang berisi kesepakatan untuk bersedia memberikan jawaban UN kepada teman-temannya (contek massal) dan berjanji untuk tidak memberitahukan peristiwa tersebut kepada siapapun, termasuk orangtua. Bagi saya ini adalah bentuk kesepakatan tolol yang dilakukan oleh lembaga yang mengajarkan pendidikan karakter. Saat mengikuti proses ujian, Abrar semakin gelisah saat teman-temannya bebas bertukar jawaban, padahal ada pengawas di sana.
Saat dijemput ibunya, Irma Winda Lubis (Winda), Abrar menceritakan peristiwa tersebut sambil menangis. Tentu saja ibunya geram dan kesal mendengarnya. Keesokan harinya di hari kedua UN, bu WInda mendatangi sekolah anaknya. Ia membawa kamera kemudian merekam (secara sembunyi) semua aktivitas selama ujian. Bahkan, ia juga merekam hasil pembicaraan dengan kepala sekolah dan seorang guru yang telah membuat kesepakatan tersebut.
Bu Winda menyampaikan keberatannya pada pihak sekolah tersebut, ia meminta guru dan kepala sekolah terkait meminta maaf di depan publik agar kasus kecurangan UN tidak terjadi lagi. Namun pihak sekolah mengabaikannya. Justru kejujurannya itu malah membuat sang anak diasingkan oleh para guru dan teman-temannya di sekolah. Abrar dikucilkan, diejek oleh teman sekolah maupun teman main di rumah. Abrar dan keluarganya dianggap hanya mencari ketenaran. Kondisinya seperti yang disampaikan dalam puisi di atas.
“Saya dimarahi dan dimusuhi teman-teman di sekolah. Kata teman-teman, guru-guru jadi kena masalah gara-gara saya. Padahal saya cuma bicara jujur. Kata ayah dan bunda, kita harus selalu jujur.” (Abrar)
Tak puas dengan sikap yang diterimanya, bu Winda pun mencoba menempuh jalur hukum untuk kasus ini, ia mendatangi satu persatu instansi pemerintahan. Tim investigasi dibentuk oleh pemerintah untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran dari kasus ini, tapi sampai sekarang belum ada hasilnya.
Film ini disutradarai oleh Tedika Puri Amanda, Irma Winda Lubis dan Komunitas Roda, diproduksi oleh Yayasan Kampung Halaman. Film yang berdurasi 77 menit ini untuk merefleksikan banyak hal ketidaksesuaian dengan sistem pendidikan di Indonesia, antara lain:
·         kondisi anak yang perlu pendampingan,
·         lemahnya guru dalam proses pendidikan,
·         perlunya peran aktif orang tua dalam proses belajar anaknya di sekolah.
Film dokumenter ini mengajak masyarakat bersama-sama peduli untuk memberikan kenyamanan pendidikan untuk anak Indonesia. Film ini merekam jejak-jejak perjalanan keluarga Abrar dalam menempuh jalur hukum dalam memperjuangkan haknya untuk JUJUR. Film yang sarat akan makna ini mengajarkan bahwa kejujuran butuh keberanian luar biasa dengan mental baja. Kecurangan bersama (dalam kasus UN) ini adalah awal mulanya bentuk korupsi berjamaah di negara kita.
Baiklah, sebelum kita lanjutkan pembahasannya, sejenak mari kita saksikan trailer film di bawah ini. Andapun bisa melihat bagaimana rekam pembicaraan antara bu Winda dengan pihak sekolah. Sungguh menusuk ulu hati dan perasan.
Refleksi.
Untuk Menolak Lupa, arsip peristiwa ini bisa kita baca di beberapa media diantaranya:
Kejujuran dalam UN harus dipertahankan dengan kuat, maka jika ada anak yang melaporkan kecurangan UN, harus dilindungi. Pemerintah harus menjamin perlindungan saksi, jika ada siswa maupun masyarakat yang berani melaporkan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Kasus lainnya yang dialami Ibu Siami dan Alif, siswa SDN Gadel II, Surabaya, yang pada tahun 2011 juga menggegerkan dunia pendidikan itu kini masih menimbulkan trauma yang mendalam bagi masyarakat, terutama anak-anak sekolah. Nilai-nilai baik yang diajarkan keluarga, justru bertolak belakang dengan apa yang dijumpai anak di luar lingkungan keluarga. Saat itu keluarga Siami diintimidasi, justru setelah melaporkan contek massal yang terjadi saat pelaksanaan UN di sekolah anaknya. Kasus ini merebak, sampai keluarga Ibu Siami sempat diusir warga dari rumahnya, karena tidak suka dengan kejujuran Alif.
Membangun lingkungan yang ramah terhadap anak, dimana menghargai pendapat anak tanpa kekerasan, seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga, sekolah, masyarakat, dan juga negara. Sangat disayangkan bila ada lembaga yang seharusnya menanamkan pendidikan karakter, justru mengajarkan banyak praktek ketidakjujuran, misalnya anak disuruh berbagi jawaban, kemudian guru berperan aktif dalam ketidakjujuran. Sistem UN telah membuat berbagai pihak menempuh segala cara untuk meluluskan siswa didiknya, terutama dengan komposisi bobot nilai kelulusan antara UN dan nilai rapor yang masih lebih besar untuk UN, yakni 60 : 40.
Salah satu tujuan pendidikan berdasarkan UUD 1945 adalah menciptakan insan yang berakhlak mulia. Untuk itu, dalam sidang HAM akhir tahun 2012, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mendorong Kemendikbud untuk membuat kebijakan sekolah ramah anak, mulai dari kurikulum hingga bagaimana membuat sistem evaluasi yang tidak menimbulkan trauma bagi anak.
Pesan buat para orangtua (juga pengingat diri) hendaknya bertanya pada anak saat melewati UN bukan “Berapa nilai kamu?” tapi “Jujurkah kamu?”
Pesan buat adik-adikku yang sedang mempersiapkan ujian nasional SD, SMP, dan SMU:
Selamat belajar dan berproses menjadi pribadi unggul.
Ayo, mari mendukung kejujuran untuk Indonesia yang lebih baik.
Meski pahit sekalipun yang didapat, namun kejujuran itu lebih mulia.
Ujian Nasional jujur … itu juara.

1 komentar: